Bagi sebagian orang,
Gandrung, sejenis Tayub dan Jaipong adalah tontonan “maksiat”. Setidaknya
stereotip minuman keras, saweran dan tarian berpasangan dengan goyang pinggul
erotis telah lama di lekatkan pada seni yang berasal dari Banyuwangi ini. Namun
tidak bagi Siti Astutik, nama lengkap Gandrung Siti, yang menetap di Kedasri,
Karangrejo, Rogojampi. Gandrung bukan saja sekedar pekerjaan, melainkan juga
sarana persaudaran dan mencari rejeki yang barokah.
Bahkan
putrinya, Lia Novitasari 15 tahun, buah perkawinannya dengan Sutomo, sejak tiga
tahun yang lalu telah menjalani profesi gandrung mengikuti jejaknya.“Sedari
kecil kami telah melatih Lia menari gandrung, bapaknya yang mengiringi musik
melalui suara mulut,” begitu aku Siti yang sejak tahun 1974 sudah terjun ke
dalam seni tradisi Banyuwangi. “Kami berharap, anak kami bisa meneruskan
profesi ini dan melestarikan seni Banyuwangi, siapa lagi kalau bukan dia,”
imbuh Siti tentang putri tunggalnya. Siti tidak begitu risau ketika orang
mengatakan gandrung itu maksiat, menarikannya saja sudah mengundang setan
apalagi suara musiknya. “Kalau gandrung sering di bilang maksiat, kenapa kok
para Kyai itu mengajak kami pentas?” tanya balik Siti sembari mengungkapkan
dirinya sering di undang mementaskan gandrung di pondok pesantren di daerahnya.
Lahir
sebagai anak pertama dari empat saudara keluarga perantuan asal Malang, Siti
sejak sekolah dasar belajar mandiri dan membantu orang tua. “Saya sudah mulai
belajar gandrung sejak SD, biasanya kalau hari libur saya diantar Bapak belajar
gandrung di Gambiran,” kenang Siti yang bapaknya penggemar wayang. Uang hasil
pentasnya, sebagian untuk membantu sekolah adiknya hingga menjadi guru agama
yang kini menetap di Papua.
Siti dinikahi Sutomo,
seorang sopir sekaligus penggemar seni. Bersama Sutomo, Siti mendirikan grup
“Mekar Arum” yang sampai sekarang terus pentas dan menjadi sarana mendidik
kader gandrung yang baru. “Biasanya, ketika Gandrung mempunyai suami mereka
berhenti gandrung,” tambah Siti yang sampai sekarang telah membina enam penari
menjadi gandrung terop, istilah lain gandrung profesional.
Awal
tahun 90-an Siti yang baru saja menikah dengan Sutomo, merasa jengkel, pasalnya
Siti sering sekali diundang oleh pemerintah daerah untuk pentas di berbagai
daerah. Ternyata kepandaiannya menyanyikan syair gandrung saja yang diambil
sebagai pengiring tarian gandrung binaan pemerintah daerah. Dari pengalaman
itu, Siti dan Sutomo memutuskan untuk membuat grup dan mempunyai alat-alat
musik sendiri. “Biar kami tidak selalu dimanfaatkan ketika diperlukan” aku
mereka.
Dari grup “Mekar Arum” yang
mereka dirikan, Siti dan Sutomo akhirnya melanglang buana ke berbagai penjuru
Nusantara. Bahkan Abah Syarif, pemimpin Pondok Pesantren Nurul Huda, Surakarta,
selama tujuh tahun belakangan ini selalu mementaskan grup gandrungnya untuk
memperingati milad mereka.
Tidak hanya itu, Siti dan
Sutomo bisa menabung dan mendirikan rumah dengan bengkel sekaligus toko
kelontong di kampungnya. “Rumah ini hasil kami mentas selama sembilan bulan di
daerah Sukamaju, Luwu, Sulawesi Selatan,” ungkap Sutomo. “Kalau di hitung
memakai hitungan uang sekarang, kira-kira kami berhasil menyisihkan uang sampai
75 juta rupiah selama pentas di Sulawesi itu,” kenang Siti.
“Yang
paling membuat trenyuh sampai sekarang, adalah ungkapan Abah Syarif yang selalu
mengingatkan saya untuk menguri-uri gandrung, meski saya sudah tua, gandrung
itu seni yang baik, pondok akan selalu mementaskan gandrung,” kenang Siti
tentang pujian orang daerah lain ketika melihat pentas gandrung. “Bahkan orang
Bali saja heran, kok bisa gandrung itu kalau di paju, ibing, malah geraknya
mundur, hingga tidak bisa di peluk dan di cium, ini kan beda dengan seni lain,”
imbuh Siti.
Diusianya
yang ke-48 tahun ini, ada beberapa kegelisahan diri yang ingin segera di
dengarkan. “Saya sering bertanya dalam hati, kenapa kok gandrung tari yang di
uri-uri bukan gandrung yang asli (gandrung yang mengikuti pakem, jejer, paju,
dan seblang-seblang). Saya ini jadi orang nrimo,”sesal Siti melihat
perkembangan seni Gandrung Banyuwangi. Sebuah kekecewaan yang sebenarnya umum
terdengar di kalangan pelaku seni tradisi Banyuwangi, terlepas tudingan iri
terhadap Imageseni gandrung tari hasil kreasi dan teknokrasi pemerintah
kabupaten melalui aparat seninya.
Di
rumahnya yang kecil, akhirnya, Siti bersama suami tidak pernah lelah untuk
membina dan mengahasilkan generasi gandrung baru. “Kami setidaknya habis lima
puluh ribu rupiah setiap latihan, itu untuk mengganti uang bensin dan makanan
para panjak,” terang Siti.“Kalau Mbok Temu, Pak Ikhsan dan kami tidak mau lagi
melatih gandrung, mungkin gandrung akan punah” imbuh Tomo dan Siti.Seperti
pengharapan gambaran hidup yang indah, untuk diraih dalam salah satu syair
gandrung, “Kembang pepe mrambat ring kayu arum, sang arum mambat mayun, sang
pepe ngajak lunga mbok penganten karyo dalu ngenjot-ngenjot lakune.
sumber
http://id.wikipedia.org/wiki/Gandrung_Banyuwangi