9 Mei 2012

Tanggung Jawab



 Bagi sebagian orang, Gandrung, sejenis Tayub dan Jaipong adalah tontonan “maksiat”. Setidaknya stereotip minuman keras, saweran dan tarian berpasangan dengan goyang pinggul erotis telah lama di lekatkan pada seni yang berasal dari Banyuwangi ini. Namun tidak bagi Siti Astutik, nama lengkap Gandrung Siti, yang menetap di Kedasri, Karangrejo, Rogojampi. Gandrung bukan saja sekedar pekerjaan, melainkan juga sarana persaudaran dan mencari rejeki yang barokah.
             Bahkan putrinya, Lia Novitasari 15 tahun, buah perkawinannya dengan Sutomo, sejak tiga tahun yang lalu telah menjalani profesi gandrung mengikuti jejaknya.“Sedari kecil kami telah melatih Lia menari gandrung, bapaknya yang mengiringi musik melalui suara mulut,” begitu aku Siti yang sejak tahun 1974 sudah terjun ke dalam seni tradisi Banyuwangi. “Kami berharap, anak kami bisa meneruskan profesi ini dan melestarikan seni Banyuwangi, siapa lagi kalau bukan dia,” imbuh Siti tentang putri tunggalnya. Siti tidak begitu risau ketika orang mengatakan gandrung itu maksiat, menarikannya saja sudah mengundang setan apalagi suara musiknya. “Kalau gandrung sering di bilang maksiat, kenapa kok para Kyai itu mengajak kami pentas?” tanya balik Siti sembari mengungkapkan dirinya sering di undang mementaskan gandrung di pondok pesantren di daerahnya.
             Lahir sebagai anak pertama dari empat saudara keluarga perantuan asal Malang, Siti sejak sekolah dasar belajar mandiri dan membantu orang tua. “Saya sudah mulai belajar gandrung sejak SD, biasanya kalau hari libur saya diantar Bapak belajar gandrung di Gambiran,” kenang Siti yang bapaknya penggemar wayang. Uang hasil pentasnya, sebagian untuk membantu sekolah adiknya hingga menjadi guru agama yang kini menetap di Papua.
Siti dinikahi Sutomo, seorang sopir sekaligus penggemar seni. Bersama Sutomo, Siti mendirikan grup “Mekar Arum” yang sampai sekarang terus pentas dan menjadi sarana mendidik kader gandrung yang baru. “Biasanya, ketika Gandrung mempunyai suami mereka berhenti gandrung,” tambah Siti yang sampai sekarang telah membina enam penari menjadi gandrung terop, istilah lain gandrung profesional.
            Awal tahun 90-an Siti yang baru saja menikah dengan Sutomo, merasa jengkel, pasalnya Siti sering sekali diundang oleh pemerintah daerah untuk pentas di berbagai daerah. Ternyata kepandaiannya menyanyikan syair gandrung saja yang diambil sebagai pengiring tarian gandrung binaan pemerintah daerah. Dari pengalaman itu, Siti dan Sutomo memutuskan untuk membuat grup dan mempunyai alat-alat musik sendiri. “Biar kami tidak selalu dimanfaatkan ketika diperlukan” aku mereka.
Dari grup “Mekar Arum” yang mereka dirikan, Siti dan Sutomo akhirnya melanglang buana ke berbagai penjuru Nusantara. Bahkan Abah Syarif, pemimpin Pondok Pesantren Nurul Huda, Surakarta, selama tujuh tahun belakangan ini selalu mementaskan grup gandrungnya untuk memperingati milad mereka.
Tidak hanya itu, Siti dan Sutomo bisa menabung dan mendirikan rumah dengan bengkel sekaligus toko kelontong di kampungnya. “Rumah ini hasil kami mentas selama sembilan bulan di daerah Sukamaju, Luwu, Sulawesi Selatan,” ungkap Sutomo. “Kalau di hitung memakai hitungan uang sekarang, kira-kira kami berhasil menyisihkan uang sampai 75 juta rupiah selama pentas di Sulawesi itu,” kenang Siti.
          “Yang paling membuat trenyuh sampai sekarang, adalah ungkapan Abah Syarif yang selalu mengingatkan saya untuk menguri-uri gandrung, meski saya sudah tua, gandrung itu seni yang baik, pondok akan selalu mementaskan gandrung,” kenang Siti tentang pujian orang daerah lain ketika melihat pentas gandrung. “Bahkan orang Bali saja heran, kok bisa gandrung itu kalau di paju, ibing, malah geraknya mundur, hingga tidak bisa di peluk dan di cium, ini kan beda dengan seni lain,” imbuh Siti.
           Diusianya yang ke-48 tahun ini, ada beberapa kegelisahan diri yang ingin segera di dengarkan. “Saya sering bertanya dalam hati, kenapa kok gandrung tari yang di uri-uri bukan gandrung yang asli (gandrung yang mengikuti pakem, jejer, paju, dan seblang-seblang). Saya ini jadi orang nrimo,”sesal Siti melihat perkembangan seni Gandrung Banyuwangi. Sebuah kekecewaan yang sebenarnya umum terdengar di kalangan pelaku seni tradisi Banyuwangi, terlepas tudingan iri terhadap Imageseni gandrung tari hasil kreasi dan teknokrasi pemerintah kabupaten melalui aparat seninya.
           Di rumahnya yang kecil, akhirnya, Siti bersama suami tidak pernah lelah untuk membina dan mengahasilkan generasi gandrung baru. “Kami setidaknya habis lima puluh ribu rupiah setiap latihan, itu untuk mengganti uang bensin dan makanan para panjak,” terang Siti.“Kalau Mbok Temu, Pak Ikhsan dan kami tidak mau lagi melatih gandrung, mungkin gandrung akan punah” imbuh Tomo dan Siti.Seperti pengharapan gambaran hidup yang indah, untuk diraih dalam salah satu syair gandrung, “Kembang pepe mrambat ring kayu arum, sang arum mambat mayun, sang pepe ngajak lunga mbok penganten karyo dalu ngenjot-ngenjot lakune.


sumber http://id.wikipedia.org/wiki/Gandrung_Banyuwangi

0 komentar:

Posting Komentar